Fase

Lama sudah tidak menuangkan gundahnya hati dan pikiran.

Di sini biasanya selalu dalam bentuk tulisan.
Tanpa foto atau gambar tangan.

Biasanya dulu, beberapa malam pernah saya tulis jurnal berturut – turut.

Tidak tahu kemana energinya pergi, tidak seperti dulu. Dulu juga sama, cuma buang – buang energi.

Bangun.
Mandi.
Pergi.
Makan.
Main.
Pulang.
Lagi.

 

Apa mungkin saat ini saya belum bisa bagi energi?
Bersama saya sudah ada  seorang istri yang selalu ada dan siap menemani.
Segera sesaat lagi akan hadir seorang buah hati, yang kebutuhannya harus siap saya penuhi.

Apakah di rute ini saya tidak bisa berhenti pada titik peristirahatan? Untuk sekedar berkabar dan memimpikan hal besar.

Apakah di fase ini otak saya tidak lagi menerima ajakan pelarian dan memilih mencari solusi terukur yang kadang pula tak pasti?

Jurnal di sini bukan ratapan, namun renungan.
Bukan tempat berkeluh karena bersimbah peluh.

Jurnal saat ini, yang ini, benar-benar yang ini, gaya saya menulis sudah berubah. Tidak tahu kenapa. Apakah ini kedewasaan?

Saya, menjadi tidak bisa lepas dari penjara aturan yang fana bahkan terbuat atas pikiran sendiri.

Buat saya sendiri, diri saya menjadi tidak menyenangkan. Mungkin kalau bisa bertemu dengan saya yang menulis jurnal – jurnal di tahun-tahun sebelumnya, saya bisa menjadi orang yang sangat berbeda.

Am I going down the stairs of evolution? 

Am I losing myself?

Turns

Sometimes I thought about the turns I have made in my life. So far. Hundreds. Thousand. Millions.

The turns on every corner and every crossing. Am I on the right track?

Am I lost?

Am I getting further,

or closer?

Every time I made those decisions, each time I regret them, or be grateful for them it could drive me towards the end.

But what kind of end? The ones that I was always hoping, or the ones I always try to avoid?

About how I make myself onto this stage.

so, is the rule of acceptance apply vice versa?

do God accept us if only we accept him?

God made the rule, that we have to obey Him.

So when we seek acceptance from Him, we have to accept Him first.

 

or is it?

Ketika kamu rasa hidup kamu untuk dirimu sendiri, kamu sudah merugikan orang banyak.  Namun saat kamu pikir hidupmu untuk orang banyak, maka sungguh dirimu penuh dengan keberuntungan.

Wabah

Jadi saya habis dari pusat belanja elektronik di Bandung, yang inisialnya BEC.
Pas pulang, di portal parkir kan saya harus bayar tuh, nominal yang keluar Rp 4500. Saya kasih uang saya Rp 10.000. Lalu si mbak penjaga bertanya, “ada uang pas?” saya jawab ga ada. Kemudian dia kasih saya uang Rp 5000. Sepuluh detik kemudian saya tunggu dan si mbak tidak kunjung memberi Rp 500 hak kembali saya.

“Mbak, 500 lagi mana?”
Malah dia nanya lagi “ada uang pas?”
kan saya bilang tadi juga ga ada.
“iya ga ada kembalian”, sambil dia angkat-angkat ubek-ubek dan nanya ke pos sebelahnya ada kembalian enggak, sama juga ga ada.
terus gimana?
“ya gatau ini juga udah capek, daritadi juga modal berapa…”

WTF

Mana saya tau dan harus saya peduli? ya kalo capek mah jangan bilang ke saya(?) ditambah saya ga ngerti maksudnya dia ngomong ‘daritadi modal berapa’. Dia dua kali bilang itu modal modal (mo ngajakin bisnis kali ya dia ngomongin modal). “ya saya gatau, itu kan urusan manajemen parkirnya mbak”, mau ditawari kembali diganti permen? atau saya nambah aja parkirnya sejam lagi kali ya biar pas. Etika yang betul bagaimana sih? Pembeli harus selalu sedia uang pas? Atau gimana ya. Saya parkirin aja dulu di depan pintu keluar parkir untuk jalan ke luar mencari uang pas ya? Menghalangi orang lain yang bakal keluar juga. Harusnya manajemen parkir lebih siap dengan kembalian karena mereka udah tau kemungkinan-kemungkinan jumlah biaya parkir tiap kendaraan yang keluar dong. Saya udah hitung kemungkinan biaya parkir yang harus saya bayar, tapi di dompet saya ga ada uang sepas itu. Harus saya jajan dulu? tukar dulu? Enlighten me please.

Pada akhirnya si mbak handled me koin Rp 1000. But then I just smiled and went away. Saya sudah kesal, dan saya ga mau ambil Rp 500 yang bukan hak saya jika saya mengambil Rp 1000 dari si mbak. Did I do wrong?

men is full of shit while women is full of drama

The real test is when you’re feeling invincible.

Songs of Life

I feel like I just have to let this one out this very seconds.

Cause you know. Music can emphasise the situation that’s happening to you. When you are trying to making mood, or need something to boost your current mood.

 

Tonight, I’m listening to Balance and the Travelling Sounds, performing Something About Us, originally made by Daft Punk.

The words, for me, for now, tribute to those who want to get their life right, their loved one, but sometimes, you just can’t get it. You just can’t.

You got me love, the feeling’s getting harder to hide
It’s obvious, instead I keep it bottled inside
It’s all because I’m waiting ’till the timing is right
Travel sights on random flights, you by my side
It’s no surprise you got a man
But I see you giving mixed signals like you wanna take a chance
I’m trynna play my hand, you trynna stay true
When there’s something about us I’d like to share with you
Cherish you, care for you in every way
I wanna be the reason that you smile everyday
Your style is amazing, I ain’t trynna complicate things
But the way things seem I may be
Lately we’ve been way to close
Guilty grin when you can’t say no
Maybe you need to let things go
When you’re ready baby, let me know (let me know)

I might not be the right one
It might not be the right time
But there’s something about us I have to say
‘Cause there’s something between us anyway

It might not be the right time
I might not be the right one
But there’s something about us I got to do
Some kind of secret I will share with you

I need you more than anything in my life
I want you more than anything in my life
I’ll miss you more than anyone in my life
I love you more than anyone in my life

Makmur

Kenapa ya, manusia harus bayar untuk hidup di dunia?

Apakah itu merupakan sebuah pencapaian dari peradaban? atau malah menjadi sebuah kemunduran karena kemakmuran jadi barang langka?

Seperti mereka yang saling menyerang mengukuhkan ideologi supaya jadi panutan. Apakah sebenarnya para pejuang ideologi itu orang-orang yang sudah tidak memikirkan perut atau malah sesungguhnya masih untuk perut?

Jadi terpikir; Apakah kamu, kita, perlu ikut berada di sana? Manakah batasannya makmur dengan alasan bersyukur dengan yang sudah didapat, atau makmur karena punya semangat untuk menuju kemakmuran yang lain yang dianggap makmur hakiki?

Apakah kamu makmur setelah orang lain bilang kamu makmur? Atau kamu bilang kamu makmur?

Lalu kemudian orang tua si doi bertanya kamu kerja di mana. Uang kamu banyak tidak, tapi dengan bahasa yang lebih halus. Apakah predikat kamu mampu membuat kami bangga dan layak dipandang orang?

dan lagi, seperti seorang senior yang pernah bilang. Sabar itu sulit, karena hadiahnya Surga. Kalau mudah, mungkin cuma dapat payung dan piring cantik.

Mengapa mereka (tidak) mensyukuri nikmat yang diberikan
Sungguh mereka, oh sungguh mereka bodoh